Konten [Tampil]
Konsep pendidikan multikultural.

Pendahuluan

Secara etimologis multikulturalisme marak digunakan pada tahun 1950-an. Sedangkan kerangka konseptual tentang masyarakat multikulturalisme tidak terlalu baru di Indonesia, sebab prinsip negara Indonesia adalah sebagai negara. “Bhineka Tunggal Ika” yang mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, dan agama, tetapi terintegrasi dalam ikatan keikaan, kesatuan.  

Multikulturalisme berasal dari akar kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki dalam kata ini terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. 

Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. 

Bloom sebagaimana dikutip Atmadja, menjelaskan bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Parsudi Suparlan multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.  Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kebangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.

Konsep multikulturalis mengupas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai konsep lainnya yang lebih relevan.

Konsep ini senada dengan apa yang dikemukakan Bloom bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Artinya, meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Konsep Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural bisa didefinisikan sebagai pendidikan untuk (tentang) keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Andersen dan Cusher, dalam Choirul Mahpud, yang menjelaskan pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.

Sedangkan James Banks menjelaskan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colour; maksudnya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai suatu keniscayaan karenanya pendidikan multikutural adalah sunatullah dan anugerah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya bagaimana agar perbedaan-perbedaan tersebut mampu disikapi dengan semangat egaliter dan penuh toleransi.

Secara sederhana Muhaemin el-Ma’hady dalam Choirul Mahpud, menjelaskan pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural dari suatu masyarakat tertentu.12 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan multikultural adalah sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupannya tanpa membedakan ras, etnik, agama dan strata sosial.

Selanjutnya M. Ainul Yaqin secara lebih spesifik menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan agama, etnis, bahasa, gender, kelas sosial, kemampuan dan usia agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan mudah.  Simpul kata, istilah pendidikan multicultural menggambarkan isu-isu dan problematika pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural.

Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan dan strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multicultural haruslah meliputi toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnokultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, multikuturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lainnya yang relevan. Semua ini menunjukan bahwa keragaman kultur mengandung unsur keragaman yang sarat dengan nilai-nilai kearifan;

Pertama, nilai-nilai kearifan yang dalam hal ini ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya” dapat dijadikan sebagai tali pengikat dalam upaya bersosialisasi dan berinteraksi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Melalui nilai ”kearifan sosial” dan ”kearifan budaya”, akan berusaha mengeliminir berbagai bentuk perselisihan dan konflik budaya, konflik agama yang kurang kondusif antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas.

Kedua, nilai saling hormat menghormati. Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan terwujud dalam perilaku yang saling menghormati, antar individu, antar kelompok, antar agama, antar kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas.

Ketiga, nilai saling menghargai perbedaan keanekaragaman kebudayaan, keanekaragaman agama dan keanekaragaman kepercayaan, keanekaragaman suku serta keanekaragaman kelompok, keanekaragaman strata sosial dalam kesederajatan dan saling menjaga satu dengan lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut.

Keempat, nilai kearifan akhlak sebagai dampak dari adanya saling menghormati dan saling menghargai antarindividu dan antarkelompok yang berbeda agama, berbeda kepercayaan, berbeda suku dan berbeda kelompok, serta berbeda strata sosial.

Masing-masing individu dan masing-masing kelompok harus berusaha untuk mengeliminir atau menghilangkan hal yang selalu menjadi embrio atau mendasari terjadinya konflik, yaitu: (a) Prasangka historis, (b) diskriminasi, dan (c) perasaan superioritas in group feeling  yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain adalah out-group.

Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir oleh individu maupun kelompok, maka konflik dan benturan antar individu atau kelompok yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, ideologi, dan strata sosial serta agama akan menjadi sesuatu yang legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilai-nilai kemanusiaan (humanis), keringnya nilai-nilai ”kearifan sosial”, keringnya nilai-nilai ”kearifan budaya” dan keringnya nilai-nilai ”kearifan moral” dalam relasi antarsesama manusia baik secara individu maupun kelompok.

Tujuan dan Strategi Pendidikan Multikultural

Dalam konsep pendidikan multikultural, fokus dari pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan semata-mata pada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau mainstream. Fokus demikian ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti terhadap perbedaan (difference) atau “(politic of recognition)” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Lebih singkatnya, tujuan inti dari subjek pendidikan multikultural adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.

Bagian terpenting dari pada pendidikan multicultural adalah bagaimana menumbuhkan sensitivitas peserta didik akan kebudayaan, budaya masyarakat yang bersifat plural? Deng bahasa lain, bagaimana orang-orang dapat belajar tentang berbagai macam alternatif untuk mempersepsi, berperilaku, dan mengevaluasi kelompok lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan kepada multikultur yang diperlukan untuk kesejahteraan bersama, tanpa melakukan pengurangan penerimaan akan etnisitasnya sendiri yang orisinal.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) tujuannya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”; (b) materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural); (c) metodenya demokratis, yang menghargai aspekaspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis); dan (d) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokrasi.

Secara lebih operasional, Judith H. Kazt, sebagaimana kutip Ardiansyah, menyatakan ada empat tujuan pendidikan multikultural, yaitu: 

  1. Memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik guna mengenalkan secara kritis kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme, demokrasi, partisipatory, dan exime.
  2. Mengembangkan keterampilan peserta didik untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk mentransmisikan nilainilai yang laten dan manifes. 
  3. Menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran guru.
  4. mengkaji variasi kebahasaan dan keberagaman gaya belajar peserta didik sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai. 

Agar berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yakni memberikan perspektif multikultural kepada para peserta didik, ada beberapa strategi yang harus dilakukan dalam konteks pendidikan multikultural, antara lain:

  1. Belajar bagaimana dan di mana menentukan tujuan, informasi yang akurat tentang kelompok-kelompok kultur yang beragam; 
  2. Mengidentifikasikan aspek-aspek positif individu atau kelompok etnik yang berbeda; 
  3. Belajar toleran untuk keberagaman melalui eksperimentasi di dalam sekolah dan kelas dengan praktek-praktek dan kebiasaan yang berlainan; 
  4. Mengembangkanlah perilaku-perilaku yang empatis melalui bermain peran (role playing) dan simulasi; 
  5. Menerapkan penggunaan “perpective glasses”, yakni melihat suatu even babakan sejarah, atau isu-isu melalui perspektif kelompok budaya atau lainnya; 
  6. Mengembangkan rasa penghargaan diri (self-esteem) seluruh peserta didik; 
  7. Mengidentifikasikan dan analisis streotip budaya; dan 
  8. Mengidentifikasikan semua kasus diskriminasi serta prasangka sosial yang berasal dari kehidupan peserta didik sehari-hari.

Model dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

Ada beberapa model yang bisa diterapkan dalam praktek pendidikan multikultural. Secara terinci Magsino, sebagaimana kutip Tilaar dalam Sutarno, mengidentifikasi 6 (enam) jenis model pendidikan multikultural.

  1. Pendidikan untuk “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya rekonstruksi dari keaneka-ragamaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya budaya nasional.
  2. Pendidikan untuk kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu pendidikan khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang sama dengan mengurangi perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara kebudayaan yang dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan dalam masyarakat.
  3. Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini bertujuan untuk memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap kebudayaan kelompok yang berbeda. Model ini merupakan pendekatan liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal yang berharga dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini Pendidikan Multikultural diarahkan kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis diskriminasi dan etnosentrisme. 
  4. Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas adanya kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui adanya partikularisme dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan. Kelima, pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk memelihara nilai-nilai kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam kepunahan.
  5. Pendidikan multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan untuk memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan kelompok spesifik, identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara Cross-cultural dengan mendapatkan pengetahuan tentang bahasa atau kebudayaan yang lain. 

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, seperti yang dikemukakan Gorski, bahwa pendidikan multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi, yaitu: (a) transformasi diri, (b) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (c) transformasi masyarakat.  

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu;

  1. Pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme;
  2. Pendidikan mengenai perbedaanperbedaan kebudayaan atau pemahaman budaya;
  3. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan;
  4. Pendidikan dwi budaya;
  5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.