![]() |
Pentingnya pendidikan multikultural terhadap kelompok minoritas. |
Pendahuluan
Ke-Bhineka Tunggal Ika-an merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, mencapai 17, 667 pulau besar dan pulau kecil. Karena itu wajar kalau dikatakan kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, sekaligus anugerah Yang Mahakuasa. Kenyataan menunjukkan terdapat 350 kelompok etnis, adat, tradisi, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu, namun setiap warga Negara Indonesia berbicara dalam satu bahasa nasional.
Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa indonesia dapat dilihat dari dua perspektif yaitu horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya. Sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosialbudaya.
Mengutip Usman Pelly, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki insan Indonesia guna saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. Namun, di samping menjadi kebanggaan, keragamaan bangsa Indonesia juga menjadi tantangan sekaligus ancaman; belum semua warganya bisa menerima gagasan tentang sebuah tatanan multikultural.
Munculnya keterbukaan politik saat ini, setelah selama lebih dari tiga dekade hidup dalam otoritarianisme, justru menjadi salah satu pintu masuk bagi berlangsungnya bermacam-macam proses penguatan politik identitas di banyak tempat. Lebih dari sekedar bentuk-bentuk euphoria politik setelah lepas dari otoritarianisme, kecenderungan politisasi identitas etnik dan agama yang sekarang terjadi di beberapa daerah sampai pada level ketika kebersamaan sebagai sebuah bangsa mulai dipertaruhkan.
Beberapa tendensi formalisasi agama melalui kebijakan publik dalam label peraturan daerah, misalnya, mengundang resiko dilanggarnya the lowest common denominator yang sudah disepakati bersama sejak Indonesia meraih kemerdekaan dari kolonialisme tahun 1945 yang lalu, yakni fundamen bahwa Indonesia bukanlah negara yang didasarkan pada satu agama tertentu.
Berbagai fenomena Berbagai fenomena kegaduhan dan kekerasan (utamanya terhadap golongan minoritas) yang merebak di banyak tempat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi alarm krisis multidimensi sebagai bayangan depan cermin kemajemukan yang dihadapi oleh Negara dan bangsa Indonesia yang plural dan multikultural. Guna menghadapi berbagai gejolak dan realitas kekinian bangsa Indonesia yang mengancam paradigma ke-Bhineka Tungga Ika-an, diperlukan terobosan pemikiran mengenaikonsep pendidikan yang mampu memberdayakan manusia dan masyarakat dengan perbedaan yang dimiliki.
Guna menghadapi berbagai gejolak dan realitas kekinian bangsa Indonesia yang mengancam paradigm ke-Bhineka Tunggal Ika-aan, diperlukan terobosan pemikiran mengenai konsep pendidikan yang mampu memberdayakan manusia dan masyarakat dengan perbedan yang dimiliki. Dengan kata lain, konsep pendidikan tersebut harus mampu memnuhi kebutuhan mendesak bangsa Indonesia saat ini untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari keragaman etnis dan budaya tersebut.
Dalam konteks ini, konsep pendidikan multikultural bisa menjadi alternatif mengingat pendidikan multicultural melihat masyarakat secara luas dari keperbedaan yang dimiliki. Paradigma pendidikan multikultural mancakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain.
Pada bulan Oktober 1994 UNESCO merekomendasi ide pendidikan multikulturalisme menjadi komitmen global. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Problem Kelompok Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk.
Minoritas sebagai ‘kelompok’ yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan. Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa dan strata sosial yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.
Bisa juga diartikan bahwa kelompok minoritas merupakan orang-orang yang karena asal-usul keturunannya atau ciri fisik tubuhnya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi.
Mengacu pada dua usulan definisi minoritas, beberapa hal akan mengganggu pikiran kita. Pertama, dalam kedua definisi tersebut minoritas pertama-tama ditunjukkan oleh perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok bisa disebut minoritas kalau jumlahnya signifikan lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara.
Kedua, minoritas mengandaikan sebuah posisi yang tidak dominant dalam konteks sebuah negara, tapi frase “tidak dominan” tersebut tidak dijelaskan secara spesifik. Artinya pengandaian tersebut juga menuntut pengandaian lain: bahwa terma “dominan” bisa dipahami sebagai sebuah makna tunggal yang melingkupi seluruh sector kehidupan sosial.
Ketiga, menjadi minoritas juga mengandaikan terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah, yakni etnik, agama, dan linguistik, dengan sisa populasi lainnya. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antar sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan di depan hukum dengan populasi di luarnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah Indonesia adalah masih banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik etnis maupun agama, maupun strata sosial, padahal mereka sebagai masyarakat atau suku bangsa harus diberlakukan sama dengan kelompok mayoritas lainnya.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan adanya:
(a) perasaan superioritas dari kelompok yang dominan; (b) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; dan (c) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya tersebut.
Di Indonesia praktek diskriminasi terhadap kaum minoritas yang dilakukan oleh kaum mayoritas masih menjadi masalah aktual. James Danandjaya, Guru Besar UI, mencatat diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia terjadi pada minoritas berbasis suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian). Hal ini terjadi sejak zaman kolonial Belanda, lalu dilanjutkan oleh rezim Orde Lama, dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, bahkan hingga era reformasi.
Pentingnya Pendidikan Multikultural Terhadap Kelompok Minoritas
Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk berpotensi memicu benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Syafri Sairin, antropolog UGM memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat plural adalah: (a) perebutan sumber daya, alat-alat produksidan kesempatan ekonomi (acces to economic resources and to means of production); (b) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion); dan (c) benturan-benturan kepentingan politik dan agama (Conflict of political, ideologi, and religious interest).
Dalam kondisi ini, dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam system pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, strata sosial, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Secara elaboratif, signifikansi pendidikan multicultural bagi kelompok minoritas dapat dipaparkan sebagai berikut:
Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Masalah
Pelaksanaan pemberian pendidikan multikultural di lembaga pendidikan diyakini menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmoni yang terjadi di dalam masyarakat, sebagai salah satu side effect dari kepluralismean masyarakatnya. Karena, pertama, pendidikan multikultural mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
Kedua, melalui pendidikan multikultural yang menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, akan meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Dengan demikian pelaksanaan pedidikan multikutural dapat dikategorikan berhasil bilamana didalam diri peserta didik terbentuk sikap hidup saling menghargai, saling toleransi, tidak bermusuhan dikarenakan perbedaan budaya, ras, etnik, agama dan strata sosial, serta tradisi.
Sebagai Upaya agar Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Dalam era globalisasi masuknya budaya asing yang sangat bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia merupakan ancaman yang sangat serius bagi peserta didik. Karena berbagai budaya saat ini berbaur dengan banyak budaya asing yang semakin mudah didapatkan melalui beragam media, seperti televisi, internet dan sebagainya sebagai dampak dari kemajuan zaman, kecanggihan teknologi mempersingkat jarak sehingga memudahkan persentuhan antar budaya.
Untuk mensikapi realitas globalisasi tersebut, perlu adanya antisipasi, sebagai solusi konkrit, antara lain dengan cara peserta didik haruslah diberi penyadaran akan pengetahuan yang beraneka ragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas mengenai pengetahuan global, termasuk salah satu diantaranya aspek kebudayaan.
Dikarenakan beragamnya budaya di dalam maupun di luar negeri, maka peserta didik dan mahasiswa sangat perlu diberi materi mengenai pemahaman multibudaya atau pendidikan multikultural agar para peserta didik tidak kehilangan arah dan tidak tercerabut dari akar budayanya.
Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional
Kurikulum merupakan acuan utama dalam pelaksanaan pembelajaran, yang akan memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang memerlukan pengembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam melaksanaan pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multicultural dapat dilaksanakan berdasarkan langkah-langkah berikut:
Pertama, mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti sekarang ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan dan misi serta fungsi setiap jenjang dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme (pada tingkat pendidikan dasar) haruslah dirubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan humanisme peserta didik, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Kedua, teori kurikulum tentang konten/curriculum content, haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang memuat fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang juga mencakup nilai moral , prosedur, proses dan skills yang harus dimiliki peserta didik.
Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan, yang memperhatikan keragaman SOSEKBUD dan politik tidak boleh hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang memposisikan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya, politik yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
Keempat, proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan metode belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi positif. Kelima, evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.
Mengingat bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak budaya, ras, suku, agama, dan kepercayaan, penerapan pembelajaran pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik dan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang terjadi di beberapa daerah. Pembelajaran multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Melalui pembelajaran berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) peserta didik akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Hal ini penting untuk menghapuskan praktek diskriminasi. Dengan pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya. Beberapa keuntungan pendidikan multikultural, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, meyakini, dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan multikultural dapat merekonstruksi kembali ”kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari beragam etnis, suku bangsa, budaya dan agama serta strata sosial, sebagai kenyataan yang tak dapat ditolak dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Pendidikan multikulturalisme diharapkan dapat mengubah “paradigma monokultural” yang penuh dengan prasangka dan diskriminatif ke paradigma multikulturalisme yang menghargai perbedaan, keragaman, toleransi dan sikap terbuka, membangun masyarakat yang berperadaban, toleransi terhadap sesama manusia, mandiri dan mampu mengatur diri sendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan untuk menuju dan tercipta masyarakat baru Indonesia, dimana kelompok minoritas dapat menikmati pendidikan yang mereka cita-citakan tanpa ada pembedaan sedikitpun dari kelompok mayoritas.
Referensi
Azyumardi Azra, “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”, http://www.kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/abstrak/58%20azyumardi%20azra.htm. (Diakses 20 April 2012).Ernie Isis Aisyah Amini, 2004, Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa SLTP di Kota Mataram, (Mataram: Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja).
Tidak ada komentar